Senin, 07 Juni 2021

[ECONOMIC FACTS] #6 : AMERIKA SERIKAT MENJADI TITIK EPISENTRUMNYA KRISIS EKONOMI GLOBAL 2008



Di postingan sebelumnya, Himajemen telah membahas mengenai krisis ekonomi pada tahun 1997-1998, yang dilatarbelakangi oleh masalah nilai tukar. Selanjutnya, pada postingan kali ini Himajemen akan membahas mengenai permasalahan ekonomi di tahun 2008.

Setelah tahun 1997-1998 Indonesia mengalami krisis moneter. Di mana Indonesia butuh waktu hampir enam tahun untuk pulih dari permasalahan tersebut, sehingga pada tahun 2004 ekonomi Indonesia berhasil kembali tumbuh dengan persentase 5%. Di tahun-tahun selanjutnya, Indonesia berusaha mengembalikan keadaan ekonomi agar normal secara bertahap. Pada masa-masa tersebut, harga komoditas ekspor utama dari Indonesia mengalami kenaikan seperti minyak sawit, batu bara, tembaga, dan karet. Sehingga perekonomian Indonesia dinilai sudah normal bahkan akan lebih membaik.

Pada saat bersamaan, harga minyak mentah dunia juga ikut mengalami kenaikan. Dilansir dari Tirto.id, menurut data Energy Information Administration (EIA), harga minyak WTI (West Texas Intermediate) atau minyak mentah Amerika Serikat (AS) yang pada era 1990-an hanya dikisaran 20 dolar AS per barel, meningkat menjadi rata-rata 31 dolar AS per barel pada 2003. Pada 2005, harga minyak mentah WTI rata-rata ada di kisaran 57 dolar AS per barel, dan meningkat lagi menjadi 66 dolar AS per barel pada 2006. Pada 2007, harga minyak WTI sudah ada di kisaran 85 dolar AS per barel.

Menurut EIA, kenaikan harga minyak terutama dipicu peningkatan permintaan akibat kuatnya laju pertumbuhan ekonomi. Pada 2006, permintaan minyak dunia meningkat hingga 1,1 juta barel per hari. Dari sisi suplai, OPEC justru memutuskan untuk memangkas produksinya. Sementara produksi dari non-OPEC tidak bisa menyamai level peningkatan konsumsi. Kenaikan harga minyak mentah dunia itu secara otomatis meningkatkan subsidi BBM. Pada saat itu, hampir 20% dari belanja APBN dihabiskan untuk subsidi BBM. Sebagian besar subsidi BBM itu diketahui tidak tepat sasaran. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga BBM dua kali yakni pada Maret dan Oktober 2005 untuk mengurangi tekanan pada APBN. Pada Maret, harga bensin premium naik 33%, solar 27%. Sementara pada Oktober, kenaikannya lebih besar yakni 88% untuk jenis premium dan 105% untuk solar. Kenaikan harga BBM itu disambut oleh aksi demonstrasi diberbagai wilayah di Indonesia. Kenaikan harga minyak terus berlanjut, puncaknya terjadi pada kuartal kedua 2008, saat harga minyak melonjak menembus 120 dolar AS per barel. Pemerintah akhirnya kembali menaikkan harga BBM pada Mei 2008 yakni 33% untuk premium dan 28% untuk solar. Di tengah tekanan akibat lonjakan harga minyak, ekonomi Indonesia dan dunia mendapatkan pukulan dari krisis finansial global yang titik pusat awalnya dari Amerika Serikat.

Lalu, apa yang terjadi dengan Amerika Serikat sebagai pelaku ekonomi terbesar yang sangat berpengaruh di dunia global sehingga mengalami krisis ekonomi?

Sekitar tahun 2008, ada dua permasalahan ekonomi di dunia, yaitu krisis meningkatnya harga minyak seperti yang telah dipaparkan diatas, dan yang kedua adalah krisis finansial di Amerika Serikat.

Adanya peningkatan harga minyak yang sangat signifikan memberikan dampak yang serius terhadap perekonomian Amerika Serikat, ditambah pada saat itu terjadi krisis keuangan di Amerika Serikat yang berkembang menjadi krisis ekonomi global.

Di lansir dari Antara News, dalam buku yang dirilis Bappenas berjudul “Penyebab dan Dampak Krisis Keuangan Global”, disebutkan bahwa krisis keuanagn yang terjadi di AS berawal dari krisis kredit perumahan negara AS.

Pada tahun 1925 Amerika Serikat telah menetapkan Undang-Undang mengenai Mortgage (Hipotek). Hipotek subprima ini dapat didefinisikan sebagai surat hutang kepemilikan rumah atau KPR yang diberikan kepada masyarakat dengan kualitas kredit rendah (bi.go.id, 2017). Meningkatnya Hipotek Subprima sejatinya didorong oleh adanya kebijakan pemerintah AS yang ingin memudahkan warga negaranya untuk memiliki rumah (Board of Governors of the Federal Reserve System, 2017). Melalui kebijakan tersebut, bank terdorong untuk memberikan kredit pada siapapun bahkan pada orang yang kapasitas ekonominya di bawah standar.

Buku yang dirilis Bank Indonesia berjudul “Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2008” menyebutkan akibat terparah dari krisis ini adalah tidak berfungsinya sektor keuangan dunia. Profil risiko pinjam meminjam likuiditas tiba-tiba melonjak tinggi sepanjang tahun 2008, terlebih setelah bangkrutnya perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat, seperti Lehman Brother AIG,  Fannie  Mae,  dan Freddie  Mac.  

 

Pada salah-satu sumber yang kami dapatkan di internet, bahwa terdapat enam penyebab terjadinya krisis ekonomi Amerika Serikat, pertama, penumpukkan hutang yang sangat besar. Kedua, adanya program pengurangan pajak korporasi yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan negara. Ketiga, besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membiayai perang Irak dan Afghanistan. Keempat, lembaga pengawas keuangan CFTC (Commodity Futures Trading Commision) tidak mengawasi ICE (Inter Continental Exchange) sebuah badan yang melakukan aktivitas perdagangan berjangka. Kelima, kerugian surat berharga properti, dan keenam adalah keputusan suku bunga murah yang mengakibatkan timbulnya spekulasi yang berlebihan. Penurunan suku bunga yang dilakukan oleh The Federal Reserve of The United States atau bank sentral Amerika yang kala itu dipimpin oleh master ekonom dunia Alan Greenspan membuat gejolak baru di pasar Amerika.

Krisis ekonomi di Amerika Serikat tersebut perlahan merambat menjadi krisis ekonomi global. Amerika Serikat sebagai salah satu episentrum ekonomi dunia, memiliki peran dan pengaruh terhadap perekonomian global. Perekonomian global merupakan suatu hal yang memiliki peran saling berhubungan dan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya.

Pada awalanya krisis yang terjadi di Amerika Serikat berdampak negatif terhadap perekonomian negara-negara Eropa karena banyak sekali perusahaan Amerika Serikat yang berinvestasi di perusahaan-perusahaan Eropa, dan begitupula sebaliknya. Terjadinya penurunan modal investasi Amerika Serikat di negara-negara Eropa mengakibatkan pengurangan jumlah tenaga kerja, meningkatkan inflasi, dan lain sebagainya. Secara perlahan-lahan, hal tersebut berdampak negatif juga kepada perekonomian Asia. Di Asia bagian timur seperti Cina, Korea Selatan, dan Jepang yang disebut sebagai negara yang berpotensi menjadi raksasa ekonomi, terpengaruh juga oleh krisis ekonomi global.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di  tengah  krisis  global  yang  dialami oleh  negara-negara di dunia, Indonesia termasuk negara yang tidak begitu parah menerima dampak dari krisis global ini. Alasannya sebagai berikut; Pertama, Indonesia tidak terlalu bergantung  pada  ekspor  dikarenakan  pangsa  ekspor Indonesia  tidak mencapai setengah dari GDP Indonesia.  Berbeda  dengan  negara  China  dan  Malaysia yang  memiliki    porsi  ekspor  yang  lebih  besar  (lebih dari 50 persen dari GDP). Kedua, sektor perbankan dan sektor finansial negara  kita tidak mengalami dampak seberat negara lain karena tingkat kebergantungannya tidak sedalam negara-negara lain. Ketiga, di samping terkena dampak yang relatif lebih kecil, penurunan bursa juga tidak terlalu memberikan pengaruh yang nyata pada gejolak ekonomi dalam negeri karena pelaku pasar saham hanyalah 0,5% dari penduduk Indonesia. Terakhir, Indonesia dapat dikatakan sebagai self sustaining economy karena potensi pasar domestik yang sangat besar sehingga  walaupun pasar luar negeri sedang lesu, pasar domestiknya sudah sangat besar. Namun, tetap saja karena terjadi krisis global, Indonesia juga tidak terlepas dari jeratan dampak krisis finansial 2008.

Sepanjang tahun 2008, tingkat inflasi di Indonesia mencapai 11,1% yang dipengaruhi oleh kenaikan harga BBM di pasar Internasional dan juga kenaikan harga bahan pokok. Bursa saham Indonesia juga terkena dampak cukup parah. Antara tahun 2007-2009, IHSG anjlok hingga 50-60%. Bank Indonesia lalu melakukan penurunan suku bunga dari 9,25% pada Desember 2008 menjadi sebesar 7,5% pada awal April 2009 yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Serta efek krisis global juga berdampak pada kemiskinan dan pengangguran yang tidak dapat sepenuhnya dihindari. Jika tidak ada krisis, tingkat pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran akan jauh lebih baik.  Akibatnya, Indonesia memiliki angka kemiskinan yang relatif tinggi dan tingkat  pengangguran daripada yang  seharusnya. Selain  itu, ditemukan bahwa  dampak krisis global relatif lebih kuat kepada rumah tangga pedesaan daripada rumah tangga perkotaan. Salah satu alasannya yaitu tingginya ketergantungan pada ekspor komoditas primer yang mayoritas diproduksi di daerah pedesaan. Kemudian, karena pasar tenaga kerja pedesaan jauh lebih fleksibel daripada di daerah perkotaan, dampak krisis global pada pengangguran pada tingkat pengangguran pedesaan relatif lebih lemah.

Sudah kita ketahui, sebelumnya Indonesia telah mengalami krisis ekonomi di tahun 1997-1998. Dampak dari krisis ekonomi tahun 2008 ini tidak separah dan tidak berkelanjutan seperti krisis di tahun 1997-1998. Dilansir dari Tirto.id, salah satu penyebabnya adalah eksposur perbankan dan lembaga keuangan Indonesia terhadap subprime mortgage yang relatif minimal. Tak hanya itu, pemerintah dan Bank Indonesia juga lebih kompak dalam menghadapi krisis ini. Belajar dari krisis di masa lalu, pemerintah langsung mengeluarkan sejumlah aturan untuk menghadapi kedatangan krisis.

Pada Oktober 2008, pemerintah mengeluarkan tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Pertama, Perppu 2/2008 untuk memperkuat fungsi lender of the last resort  BI dengan memperluas macam aset yang bisa dijadikan agunan oleh bank untuk mendapatkan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dari BI. Kedua, Perppu 3/2008 untuk memperkuat peran LPS di masa krisis. Ketiga, Perppu 4/2008 mengenai Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) menetapkan mekanisme, tata cara, dan koordinasi antar lembaga yang bertugas dan berwenang mencegah dan menangani krisis. Bapepam-LK (kini melebur ke OJK) juga mengeluarkan aturan untuk mempermudah emiten melakukan buyback. Sementara BEI mengeluarkan larangan transaksi shortselling dan membatasi perdagangan marjin. Ini dimaksudkan untuk mengurangi aksi jual di tengah momentum penurunan harga. Langkah-langkah tersebut dimaksudkan untuk meredam volatilitas di pasar saham.

Pada medio Oktober 2008, BI menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) dari 9% menjadi 7% untuk kewajiban rupiah, kewajiban valas dari 3% turun menjadi 1%. Perhitungan GWM untuk bank-bank kecil disederhanakan. Dengan demikian, beban perbankan sedikit berkurang. Untuk mengatasi ketatnya likuiditas, pembatasan saldo harian pinjaman valas jangka pendek oleh bank-bank dihapuskan dan tenor fasilitas swap untuk memperoleh likuiditas diperpanjang dari 7 hari menjadi 1 bulan. Tidak seperti krisis 1997/1998, krisis finansial 2008 ini hanya berdampak sesaat. Memasuki semester II tahun 2009, tanda-tanda pemulihan ekonomi sudah mulai nampak. Pada tahun 2010, ekonomi sudah pulih yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang positif di angka 5%. Lesunya ekonomi negara-negara maju memang berdampak pada kinerja ekspor. Namun, hal itu terkompensasi dengan kuatnya permintaan domestik, ditambah lagi menguatnya perdagangan antar negara-negara emerging markets. Bank Indonesia dalam “Laporan Perekonomian Tahun 2008” yang diterbitkan April 2009 menuliskan, ekonomi 2008 tertolong oleh aktivitas ekonomi masyarakat. Hal itu terlihat dari total transaksi kliring yang mencerminkan aktivitas transaksi ritel di masyarakat yang mengalami peningkatan. Nilai transaksi kliring selama periode laporan meningkat 19,7% menjadi Rp1.664 triliun, atau rata-rata Rp6,8 triliun per hari. Dari sisi volume, jumlah transaksi meningkat 7,6% menjadi 85,6 juta transaksi atau rata-rata 349 ribu transaksi per hari. IHSG memang menurun, akan tetapi rata-rata harian perdagangan saham meningkat dari Rp4,29 triliun pada 2007 menjadi Rp4,41 triliun. Indikasi membaiknya kepercayaan investor juga terlihat dari aktivitas investor asing yang masih membukukan net beli sebesar Rp18,65 triliun pada 2008, meski angkanya di bawah tahun 2007 yang sebesar Rp32,92 triliun. Namun, porsi kepemilikan asing pada 2008 meningkat menjadi 67,8%. Harga obligasi negara tercatat hanya turun 5%. Total volume perdagangan obligasi negara tahun 2008 sebesar Rp1.246,7 triliun, dibandingkan tahun 2007 sebesar Rp1.564 triliun. Menutup tahun 2008, perbankan masih dalam kondisi baik. Menurut data Bank Indonesia, total aset perbankan meningkat dari Rp1.986,5 triliun (2007) menjadi Rp2.310.6 triliun. Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat dari Rp1.510,7 triliun (2007) menjadi Rp1.753,3 triliun. Kredit juga masih tumbuh, dari Rp1.045,7 triliun menjadi Rp1.353,6 triliun. NPL malah cenderung turun dengan NPL gross dari 4,6% menjadi 3,8%. Namun, CAR mengalami penurunan dari 19,2% menjadi 16,2%.

Sumber Tulisan :

Elsaryan.2009.Krisis Ekonomi Global 2008 Serta Dampaknya Bagi Perekonomian Indonesia. Di akses pada Senin, 31 Mei 2021 jam 15.39 WIB. Link : https://elsaryan.wordpress.com/2009/09/08/krisis-ekonomi-global-2008-serta-dampaknya-bagi-perekonomian-indonesia/

Kurmala,Azis.2020.Berawal dari Amerika Serikat, krisis keuangan menyebar ke Eropa, Asia.Jakarta:Antara News di akses pada Senin, 31 Mei 2021 jam 13.12 WIB. Link : https://www.google.com/amp/s/m.antaranews.com/amp/berita/1801289/berawal-dari-amerika-serikat-krisis-keuangan-menyebar-ke-eropa-asia

Pahlevy,M Rizky.2020.Krisis Finansial 2008 (Penyebab dan Dampak). Di akses pada 31 Mei 21 jam 15.15 WIB. Link : https://www.young-gans.com/2020/06/krisis-finansial-2008-penyebab-dan-dampak.html

Purwaka,Adjie Aditya.2009.Dampak Krisis____.Fisip UI

Putri,Sukma Ayu.2018.Penyebab Krisis Finansial Global tahun 2008: Kegagalan Financial Development dalam Mendorong Pertumbuhan dan Stabilitas Ekonomi.Jurnal Hubungan Internasional.Tahun XI.No.1 Hal 156-157

Pramisti,Nurul Qomariyah.2020.Krisis Finansial 2008, Bagaimana Indonesia Mengatasinya?:Tirto.id. Di akses pada Senin, 31 Mei 2021 jam 16.22 WIB. Link : https://tirto.id/krisis-finansial-2008-bagaimana-indonesia-mengatasinya-f7qD

Sugema,Iman.2012.Krisis Keuangan Global 2008-2009 dan Implikasinya pada Perekonomian Indonesia.Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). Vol.17(3) Hal 146, 151


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HIMPUNAN MAHASISWA PRODI MANAJEMEN: MANFAAT UNTUK MAHASISWA DAN PENGURUS 2024

  Himpunan Mahasiswa Prodi Manajemen (HIMAJEMEN) adalah organisasi mahasiswa yang mewadahi mahasiswa Program Studi Manajemen di Universitas ...